Hari ini, seperti biasa, ayah keluar rumah untuk pergi mencari nafkah.
Seperti biasa, ayah mencium ibu dan aku, lalu tersenyum dan berpesan seperti biasanya:
"Nantikan ayah pulang ya..."
"I LOVE YOU"
Lalu suara motor kesayangannya menderu dan meninggalkan kami.
Tapi siapa menyangka, hari itu adalah ciuman ayah untuk yang terakhir kalinya.
Sore itu ayah pulang, yang biasa pulang sendiri dengan motornya, kini yang aku lihat motornya HANCUR.
Ayah turun dari AMBULANCE, tapi bukan turun sendiri, berdiri dan berjalan sendiri melainkan diangkat orang yang tidak aku kenali.
Ayahku pulang, bukan ayah seperti tadi pagi, ayah tidak lagi berpakaian kerja.
Tapi kini, berpakaian serba putih bersih yang membungkus sekujur tubuhnya.
Tadi pagi ayah begitu mesra mencium ibu dan aku, begitu hangat dan dekat.
Sore ini aku dan ibu yang menciumnya, tapi ayah begitu dingin dan terasa sangat jauh.
Aku lihat ibu yang dulu tegar dan kuat, ternyata saat ini begitu rapuh.
Aku mulai menyadari, kepergian ayah tidak meninggalkan apapun untuk aku dan ibu.
Aku pun tersadar, selama ini yang menafkahi aku dan ibu adalah ayah.
Aku jadi ketakutan dan bertanya dalam hati, bagaimana tentang cita-citaku menjadi dokter yang dijanjikan ayah.
Aku hanya menangis tersedu tanpa pernah ada lagi yang mendiamkanku.
INI BUKAN MIMPI
Aku lihat dengan jelas, tanah gembur itu menguburnya, dan sekarang aku lihat dengan sadar, nama Ayah terukir di kayu pancang ala kadar sebagai penanda pusaranya.
Satu minggu kemudian, aku melihat ibu di kamarnya tekun memegang sesuatu, ibu membaca sesuatu, aku lihat ibu menangis lalu memelukku.
Secarik kertas melayang jatuh di kakiku lalu aku pungut dan baca.
Tertulis tanggal di saat hari kepergian ayah:
"Istriku, kau adalah sosok wanita yang sempurna di hatiku, kita lewati hari dalam kondisi pas-pasan."
"Kau tetap tabah dalam segala hal, melayani aku tanpa kurang sedikitpun, walaupun kau tahu, gajiku di tempat aku bekerja, tidak cukup untuk membeli bajumu yang tidak terganti seumur anak semata wayang kita."
"Aku tau kau begitu menghormati aku sebagai pemimpin rumah tangga, dan selalu menghargai keterbatasanku."
"Istriku, aku sadar, untuk menaikkan taraf ekonomi kehidupan kita dan membuktikan janjiku untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak kita, perlu proses dan butuh waktu untuk merintisnya."
"Maka, hari ini aku harus berkata jujur kepadamu, Dalam setahun ini, tentang gaji yang telah aku potong setiap bulannya darimu, yang selama ini aku alaskan untuk keperluanku sendiri, dan aku masih ingat kau selalu cemberut ketika kau sadar amplop gajiku kurang Rp 2.000.000,-"
"Aku pun tau, uang sebesar itu sangat berarti bagimu dalam mengelola keperluan kita sehari - hari selama ini."
"Sebenarnya, uang tersebut aku tabungkan di sebuah perusahaan ASURANSI, melalui teman sekokahku dulu, yang bekerja di perusahaan asuransi tersebut."
"Aku tau, kau pasti tidak suka mendengarkan ALASAN kenapa aku harus memiliki POLIS ASURANSI ini."
"KEMATIAN..."
"Ya, kita sadari, tidak seorangpun yang tau KEPASTIAN ini kapan waktunya tiba."
"Tapi aku percaya dengan isi POLIS ASURANSI yang telah aku miliki, bahwa ketika AKU MATI, perusahaan asuransi ini MENJAMIN Rp 1 MILYAR untukmu dan anak kita."
"Aku rasa JAMINAN ini pantas buatmu dan anak kita, hal ini tak lain sebagai bukti CINTAKU & TANGGUNG JAWABKU sebagai pemimpin keluarga yang belum punya apa-apa untuk kalian."
"Sosok Ayah tidak dapat diganti, tapi TANGGUNG JAWAB ayah telah ada yang menggantikannya, agar kalian tidak menjadi BEBAN orang lain."
POLIS ASURANSI JIWA
"Dengan polis itu, aku yakin, anak kita pasti dapat wujudkan cita - citanya menjadi DOKTER, aku pasti bangga."
"Dan jangan lupa, rutinlah kau santuni yatim piyatu dan fakir miskin di sekitar rumah kita, lalu kau niatkan untukku ketika aku kembali ke pangkuan SANG MAHA PEMILIK SEGALANYA."
"Istriku, jika ketentuan ini telah terjadi, bersabarlah, kau harus terus berjuang dan hidup, dan lakukanlah hal yang terbaik untuk keluarga kecil kita."
"BUAT AKU BANGGA...!!!"
"AKU CINTA KALIAN."